Skip to main content

Sejarah Perekonomian Indonesia



Sejarah Perekonomian Indonesia



1. Era Pra-Kolonial
Indonesia terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi).
Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang “mampir”.
Penggunaan uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas, karena perdagangan barter banyak berlangsung dalam sistem perdagangan Internasional. Karenanya, tidak terjadi surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau impor logam mulia.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan. Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia, bahkan hingga saat ini.

2. Era Kolonial
1. Pendudukan Belanda
Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini. Untuk menganalisa sejarah perekonomian Indonesia, rasanya perlu membagi masa pendudukan Belanda menjadi beberapa periode, berdasarkan perubahan-perubahan kebijakan yang mereka berlakukan di Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia saat itu).
1. Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)
Belanda yang saat itu menganut paham Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di Hindia Belanda. Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC (Inggris).
Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi :
a.Hak mencetak uang
b.Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai
c.Hak menyatakan perang dan damai
d.Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
e.Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja
Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC.
Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu. VOC juga belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi peraturan). Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia.
Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Disamping itu juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang Cuma 1.050 metrik ton.
Namun, berlawanan dengan kebijakan merkantilisme Perancis yang melarang ekspor logam mulia, Belanda justru mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar dengan hasil bumi. Karena selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat ditawarkan sebagai komoditi imbangan,ekspor perak itu tetap perlu dilakukan. Perak tetap digunakan dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran sampai tahun 1870-an.
Cultuurstelstel
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Cultuurstelstel melibatkan para bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan politik Mataram–yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan tidak mendapat imbalan–dan memotivasi para pejabat Belanda dengan cultuurprocenten (imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang masuk gudang).
Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
Jelasnya, dengan menerapkan cultuurstelstel, pemerintah Belanda membuktikan teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian lama kian besar. Biaya yang kian besar itu meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa nilai leih ini meningkatkan kesejahteraan Belanda sebagai kapitalis.
Kehidupan Ekonomi Indonesia Pada masa Tanam Paksa.
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro 1825-1830), dan Perang Paderi di Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan yang besar. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar.
3. Pendudukan Inggris (1811-1816)
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan menggunakan pajak tanah, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah. Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang hanya seumur jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara lain:
  • Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang
  • Pegawai pengukur tanah dari inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
  • Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena inggris tak mampu mengakui suksesi jabatan secara turun temurun.

3. Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.

 4. Pendudukan Portugis 

Bangsa Eropa sedang memajukan teknologi di awal abad ke-16; keahlian baru bangsa Portugis dalam navigasi, pembuatan kapal, dan persenjataan memungkinkan mereka berani mengadakan ekspedisi penjelajahan dan ekspansi. Bermula dengan ekspedisi penjelajahan pertama yang dikirim dari Malaka yang baru ditaklukkan pada tahun 1512, bangsa Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang tiba di Nusantara, dan mencoba mendominasi sumber-sumber rempah-rempah berharga dan berusaha menyebarkan Katolik Roma. Percobaan awal bangsa Portugis mendirikan koalisi dan perjanjian damai pada tahun 1512 dengan Kerajaan Sunda di Parahyangan, gagal akibat sikap permusuhan yang ditunjukkan oleh sejumlah pemerintahan Islam di Jawa, seperti Demak dan Banten. Bangsa Portugis mengalihkan arah ke Kepulauan Maluku, yang terdiri atas berbagai kumpulan negara yang awalnya berperang satu sama lain namun memelihara perdagangan antarpulau dan internasional. Melalui penaklukan militer dan persekutuan dengan penguasa setempat, mereka mendirikan pos, benteng, dan misi perdagangan di Indonesia Timur, termasuk Pulau Ternate, Ambon, dan Solor. Namun, puncak kegiatan misi Portugis dimulai pada paruh terakhir abad ke-16, setelah langkah penaklukan militernya di kepulauan tersebut gagal dan kepentingan Asia Timur mereka berpindah ke Jepang, Makau, dan Tiongkok; serta pada gilirannya gula di Brasil dan perdagangan budak Atlantik mengalihkan perhatian mereka dari Nusantara. Di samping itu, bangsa Eropa pertama yang tiba di Sulawesi Utara adalah Portugis.Keberadaan Portugis berkurang hanya di Solor, Flores dan Timor di Nusa Tenggara Timur sekarang, menyusul kekalahan pada tahun 1575 di tangan penduduk Ternate, penaklukan Belanda di Ambon, Maluku Utara, dan Banda, serta kegagalan umum untuk menopang kendali perdagangan di kawasan ini. Dibandingkan dengan ambisi awalnya mendominasi perdagangan Asia, pengaruh mereka pada budaya Indonesiaamat kecil: gitar balada keroncong; sejumlah kata dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Portugis yang pernah menjadi lingua franca di samping Melayu; dan banyak nama keluarga di Indonesia Timur seperti Da Silva, Da Lopez, Da Cunha, Henriquez, Carvallo, Da Costa, Diaz, de Fretes, Gonsalves, dll. Dampak terpenting kedatangan bangsa Portugis adalah gangguan dan kekacauan jaringan perdagangan yang sebagian besar terjadi akibat penaklukan Malaka, dan penyebaran Kristen awal di Indonesia. Hingga kini, penduduk Kristen banyak ditemui di Indonesia Timur. Di Dusun Baluk Kec. Bola, Kab. Sikka, St. Fransiskus Xaverius, misionaris Katholik yang mengikuti perjalanan orang Portugal, menancapkan sebuah Salib setinggi 3 meter di atas sebuah Batu Karang, yang oleh orang setempat diberi nama "Watu Krus" hal ini terjadi ± pada tahun 1630.


3. Era Orde Lama 
SOEKARNO (1945-1967)
Kondisi perekonomian Indonesia di masa Kepemimpinan Soekarno mengalami tiga tahap yang dimulai dari penataan ekonomi pasca kemerdekaan, penguatan ekonomi dengan cara menasionalisasi perusahaan swasta atau asing, hingga munculnya krisis akibat sistem ekonomi yang terpusat dan biaya politik yang cukup besar.
Karena merupakan Negara yang baru terbebas dari penjajahan kolonial, perekonomian Indonesia bisa disebut sebagai ekonomi warisan perang dimana dijalankan berdasarkan perintah penguasa, sarana dan prasarana yang rusak, kelangkaan barang keperluan masyarakat, penambahan uang beredar yang tidak terkendali, kesejahteraan masyarakat terabaikan, transaksi sukarela terbatas, serta terisolasi dari dunia luar.
Pada hasil konferensi meja bundar (KMB) tahun 1949, disepakati antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda salah satunya adalah kebijakan ekonomi yang harus berdasarkan ijin Belanda, Kembali beroperasinya perusahaan-perusahaan Belanda, menanggung hutang dalam dan luar negeri Hindia Belanda sebesar 1,13 miliar Dolar AS, serta menanggung 17 ribu esk karyawan Belanda dan 26 ribu tentara kerajaan Hindia Belanda Koninklijk Nederlands-Indihsce Leger (KNIL).
Ketidakstabilan kondisi di era parlementer mendorong diterapkannya ekonomi terpimpin. Meski menunjukkan prestasi ekonomi diawal-awal pemerintahan, namun ternyata akibat sistem yang kurang baik akhirnya memicu terjadinya krisis.
Ditengah situasi politik dan ekonomi yang tidak stabil juga mengakibatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mengalami defisit. Biaya politik yang terlalu besar memperngaruhi defisit APBN serta kondisi fiskal ekonomi yang lepas kendali.
Biaya politik dimasa (1958-1965) dari tahun ke tahun cenderung meningkat hingga mencapai angka tertinggi pengeluaran politik terhadap APBN sebesar 39 persen. Sedangkan Penerimaan dan Pengeluaran Riil APBN justru cenderung menurun yang mencapai titik terendahnya di tahun 1965 senilai 1,6 untuk penerimaan dan 4,1 untuk pengeluaran. Dengan kondisi tersebut defisit APBN sangat besar hingga mencapai -1565,6 miliar rupiah pada tahun 1965.

4. Era Orde Baru 


SOEHARTO (1967-1998)
Masa kekuasaan Soeharto adalah yang terpanjang dibandingkan presiden lain Indonesia hingga saat ini. Presiden Soeharto melakukan banyak pembangunan khususnya dalam bidang ekonomi. Pasang surut perekonomian Indonesia juga paling dirasakan pada eranya. Pada 1967, ia mengeluarkan Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing. UU ini membuka lebar pintu bagi investor asing untuk menanam modal di Indonesia.
Orde Baru menetapkan tujuan pembangunan nasional yakni untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila. Pembangunan nasional sendiri pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh bangsa Indonesia berlandasakan Pancasila dan UUD 1945.
Pembangunan nasional dilaksanakan secara bertahap, setiap tahap berlangsung selama lima tahun yang disebut Pelita. Setiap Pelita memiliki titik berat dibidang-bidang tertentu. Rincian prioritas dan sasaran yang hendak dicapai dalam Pelita adalah sebagai berikut:
Pelita I
Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi landasan awal pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik berat Pelita I adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Pelita II
Pelita II mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Titik berat dari pelaksanaan Pelita II adalah pada sector pertanian dan industry yakni mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang direhabilitasi dan dibangun.
Pelita III
Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984. Pelita III menitikberatkan pada sector pertanian menuju swasembada pengan dan meningkatkan industry yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan titik berat pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.
Isi Trilogi Pembangunan terdiri dari:
  • Stabilitas nasional yang dinamis
  • Pertumbuhan ekonomi tinggi, dan
  • Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
Isi Delapan Jalur Pemerataan meliputi:
  1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan.
  2. Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
  3. Pemerataan pembagian pendapatan.
  4. Pemerataan kesempatan kerja
  5. Pemerataan kesempatan berusaha
  6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
  7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
  8. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Pelita IV
Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara lain swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasilnya Indonesia berhasil swasembada beras. Kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia. Selain swasembada pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan Rumah untuk keluarga.
Pelita V
Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan ditekankan pada sector pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya dan meningkatkan produksi khususnya yang menghasilkan untuk ekspor, banyak menyerap tenaga kerja, dan industry yang bisa menghasilkan mesin-mesin sendiri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
Pelita VI
Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak pembangunan. Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian telah menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.
Ekonom Lana Soelistianingsih menyebut, iklim ekonomi Indonesia pada saat itu lebih terarah, dengan sasaran memajukan pertanian dan industri. Hal ini membuat ekonomi Indonesia tumbuh drastis. Setelah itu, di tahun-tahun berikutnya, hingga sekitar tahun 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung tinggi dan terjaga di kisaran 6-7 persen. Namun, selama Soeharto memerintah, kegiatan ekonomi terpusat pada pemerintahan dan dikuasai kroni-kroni presiden. Kondisinya keropos. Pelaku ekonomi tak menyebar seperti saat ini, dengan 70 persen perekonomian dikuasai pemerintah. Begitu dunia mengalami gejolak pada 1998, struktur ekonomi Indonesia yang keropos itu tak bisa menopang perekonomian nasional.
Posisi Bank Indonesia (BI) pada era Soeharto juga tak independen. BI hanya alat penutup defisit pemerintah. Begitu BI tak bisa membendung gejolak moneter, maka terjadi krisis dan inflasi tinggi hingga 80 persen.
Pada 1998, negara bilateral pun menarik diri untuk membantu ekonomi Indonesia, yaitu saat krisis sudah tak terhindarkan. Pertumbuhan ekonomi pun merosot menjadi minus 13,13 persen. Pada tahun itu, Indonesia menandatangani kesepakatan dengan Badan Moneter Internasional (IMF). Gelontoran utang dari lembaga ini mensyaratkan sejumlah perubahan kebijakan ekonomi di segala lini.

5. Era Reformasi
BJ HABIBIE (1998-1999)
Periode Pemerintahan Presiden Baharuddin Jusuf Habibie dikenal sebagai masa tranisi dari krisis ekonomi ke proses pemulihan. Pada masa ini pemerintah menerapakan reformasi kebijakan ekonomi di sejumlah sektor guna memulihkan kepercayaan publik yang merosot akibat krisis.
Untuk mengatasi krisis ekonomi, pemerintahan BJ Habibie mengambil beberapa kebijakan penting. Di bidang moneter, dimulai dengan mengendalikan jumlah uang beredar, menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia menjadi 70%, serta menerapkan bank sentral independen. Di bidang Perbankan, dengan menerbitkan obligasi Rp. 650 triliun untuk menalangi perbankan, menutup 38 bank dan mengambilalih 7 bank. Di bidang Fiskal dimulai dari membatalkan sejumlah proyek infrastruktur, menghentikan perlakuan khusus bagi mobil nasional dan membiayai program Jaring Pengaman Sosial. Di bidang Korporasi dimulai dengan merestrukturisasi utang swasta lewat skema Indonesia Debt Restructuring Agency (INDRA) dan Prakarsa Jakarta  serta melarang praktik monopoli bagi Bulog dan Pertamina
Terbukti, gerakan cepat pemerintah saat itu membawa hasil. Satu tahun kemudian, reformasi ekonomi yang diterapkan saat itu memiliki beberapa dampak antara lain jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS dari sebelumnya Rp 16.650 per dollar AS pada Juni 1998 menjadi Rp 7.000 per dollar AS pada November 1998. Namun di sisi lain pertumbuhan ekonomi tampak menunjukkan perbaikan dari yang sebelumnya -13% menjadi 2%, angka inflasi pun sukses diturunkan dari 77,6% menjadi 2%.
ABDURRAHMAN WAHID (1999-2001)
Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), perekonomian Indonesia kembali menghadapi tantangan berat. Kebijakan-kebijakan ekonomi Gus Dur yang mengundang kerutan di dahi para pakar, juga perseteruannya dengan DPR dan IMF mempengaruhi iklim perekonomian Indonesia saat itu.
Sejumlah kebijakan seperti upaya mengubah independensi BI lewat amandemen UU BI, bea masuk impor mobil mewah untuk KTT G-15 yang jauh lebih rendah dari yang seharusnya (hanya 5% sementara seharusnya 75%), dan otonomi daerah yang membebaskan daerah untuk mengajukan pinjaman luar negeri tidak populer di masyarakat dan menuai protes.
Kondisi perekonomian yang tampak memburuk setelah sebelumnya menunjukkan gejala-gejala kepulihan di masa pemerintahan BJ Habibie meresahkan publik dan para investor. Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS yang semula Rp. 7.500 (1999) menjadi Rp. 9.800 (2001), Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun dari 580 menjadi 458, begitu pun tingkat pertumbuhan ekonomi yang semula 5% (2000) menjadi 3,6% (2001). Sebaliknya, tingkat inflasi pun meningkat drastis, dari 2% (1999) menjadi 12,6% (2001).
Di luar itu, pemerintahan Gus Dur bukannya tanpa capaian. Melalui desentralisasi fiskal, pemerintah berama-sama dengan Bank Dunia brupaya menurunkan tingkat kemiskinan melalui program pengembangan kecamatan. Selain itu, juga ada proyek pedesaan, mulai dari pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan dan saluran irigasi dan sanitasi, juga memberikan bantuan Kredit Usaha Mikro.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI (2001-2004)
Salah satu kebijakan ekonomi Megawati yang dinilai berani adalah mengakhiri program reformasi kerjasama dengan IMF pada Desember 2003 yang lalu dilanjutkan dengan privatisasi perusahaan negara dan divestasi bank guna menutup defisit anggaran negara.
"Semua opsi yang ditawarkan IMF sifatnya 'mencekik leher' bagi Indonesia. Sifatnya menggantung Indonesia supaya terus bergantung pada IMF," ujar Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas saat itu, Kwik Kian Gie.
Setelah mengakhiri kerjasama dengan IMF, Megawati menerbitkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Sesudah Berakhirnya Program IMF untuk menjaga stabilitas ekonomi makro.
Ada beberapa poin penting dalam kebijakan tersebut. Di sektor fiskal misalnya, ditandai dengan reformasi kebijakan perpajakan, efisiensi belanja negara dan privatisasi BUMN. Di sektor keuangan, dilakukan perancangan Jaring Pengaman Sektor Keuangan, divestasi bank-bank di BPPN, memperkuat struktur governance bank negara, dan restrukturisasi sektor pasar modal, asuransi dan dana pensiun. Lalu di sektor investasi, dilakukan peninjauan Daftar Negatif Investasi, menyederhanakan perizinan, restrukturisasi sektor telekomunikasi dan energi serta pemberantasan korupsi.
Dampaknya dinilai cukup baik. Kurs Rupiah yang semula Rp. 9.800 (2001) menjadi Rp. 9.100 (2004), tingkat inflasi menurun dari 13,1% menjadi 6,5% sedangkan pertumbuhan ekonomi naik 2%, begitu pun poin IHSG dari 459 (2001) menajdi 852 (2004).
 SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (2004-2014)
Kenaikan harga komoditas di awal masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuat Indonesia berada di atas angin, walau hanya sementara sebelum ditempa krisis global di 2008. Harga minyak, batu bara dan CPO (minyak sawit mentah) dunia mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Minyak yang semula USD 29,32/barel di 2004 dihargai USD 142,03/barel di 2008, begitu juga batu bara, yang tadinya USD 56,68/metrik ton di 2004 menjadi USD 192,86/metrik ton di 2008. Lalu CPO yang semula RM 1411 di 2006 naik menjadi RM 4298 di 2008.
Kenaikan harga ini membawa angin sejuk bagi Indonesia. Proses pemulihan ekonomi sebagai dampak krisis 2008 lebih cepat, pendapatan dari pajak juga meningkat, sedangkan defisit APBN justru menurun. Bahkan transaksi sempat mengalami surplus sebesar dua persen di 2009. 
Dampak kenaikan harga di sektor Minyak Bumi yaitu BBM meningkat, 19% APBN untuk subsidi BBM 2005, Impor BBM melonjak memberatkan neraca pembayaran, US$5 M, deficit transaksi berjalan 2005, serta 2 kali harga BBM naik. Ada pula dampakkenaikan harga di bidang Komoditas Lainnya yaitu mempercepat recovery ekonomi saat krisis 2008, pajak meningkat, defisit APBN menurun, serta transaksi berjalan surplus 2% pada 2009.
JOKO WIDODO (2014-saat ini)
Pada masa pemerintahannya, Joko Widodo atau yang lebih akrab disapa Jokowi merombak struktur APBN dengan lebih mendorong investasi, pembangunan infrastruktur, dan melakukan efisiensi agar Indonesia lebih berdaya saing.
Dengan agenda utama reformasi ekonomi, konektivitas antar wilayah dan produktivitas, pemerintahan Jokowi dengan semboyannya “Kerja Kerja Kerja!” segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mencapai targetnya.
Berbeda dengan pendahulunya yang memperbesar alokasi subsidi, Jokowi memilih untuk mengeluarkan kebijakan yang tidak populer di mata publik: Mengurangi subsidi energi dan mengalihkannya ke sektor-sektor produktif dan jaring pengaman sosial.
"Saya memahami, kebijakan Pemerintah seakan-akan tidak berpihak kepada rakyat. Namun moral politik saya mengatakan saya harus bertindak dan menghentikan praktik-praktik yang tidak benar," kata Jokowi.. 
“Uang sebesar itu dapat digunakan untuk membangun sekolah, membangun rumah sakit, meningkatkan kesejahteraaan rakyat melalui program ekonomi produktif dan perlindungan sosial, serta membangun lebih banyak lagi infrastruktur," tegas Jokowi.
Sesuai perkataannya, saat ini dana subsidi energi sebesar Rp. 120 triliun digunakan pemerintahan Jokowi untuk membiayai proyek infrastruktur, dana alokasi khusus, subsidi pertanian, Kartu Keluarga Sejahtera dan Keluarga Harapan, pembangunan pelabuhand an kapal, Dana Desa, Kartu Indonesia Pintar, armada perbatasan dan Kartu Indonesia Sehat.




Sumber referensi :
http://indonesiabaik.id/infografis/masa-kepemimpinan-soekarno
http://indonesiabaik.id/infografis/reformasi-ekonomi-atasi-krisis
http://indonesiabaik.id/infografis/masa-pemerintahan-sby-naik-turun-ekonomi-indonesia
https://ekonomi.kompas.com/jeo/jejak-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-dari-masa-ke-masa
https://www.google.com/amp/s/blog.ruangguru.com/kehidupan-ekonomi-bangsa-indonesia-di-masa-demokrasi-liberal%3fhs_amp=true?espv=1
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kolonialisme_Portugis_di_Indonesia
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Pembangunan_I
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Pembangunan_II
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Pembangunan_III
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Pembangunan_IV
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Pembangunan_V
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Pembangunan_VI


Comments

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    ReplyDelete

Post a Comment