Sejarah
Perekonomian Indonesia
1.
Era Pra-Kolonial
Indonesia terletak di posisi geografis antara benua Asia
dan Eropa serta samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam
jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra
laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari
sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut
Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut
antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi,
demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran
Romawi).
Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut
oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja
dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat
perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai
zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari
berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis produk tertentu,
karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang “mampir”.
Penggunaan uang yang berupa koin emas dan koin perak
sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang baru mulai dikenal di masa
kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di Cirebon.
Namun penggunaan uang masih terbatas, karena perdagangan barter banyak
berlangsung dalam sistem perdagangan Internasional. Karenanya, tidak terjadi
surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau impor logam mulia.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan. Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia, bahkan hingga saat ini.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan. Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia, bahkan hingga saat ini.
2.
Era Kolonial
1.
Pendudukan Belanda
Belanda yang kemudian
berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai sistem yang masih
tersisa hingga kini. Untuk menganalisa sejarah perekonomian Indonesia, rasanya
perlu membagi masa pendudukan Belanda menjadi beberapa periode, berdasarkan
perubahan-perubahan kebijakan yang mereka berlakukan di Hindia Belanda (sebutan
untuk Indonesia saat itu).
1. Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC)
Belanda yang saat itu
menganut paham Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di Hindia Belanda.
Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang didirikan dengan
tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus
untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC (Inggris).
Untuk mempermudah
aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi :
a.Hak mencetak uang
a.Hak mencetak uang
b.Hak mengangkat dan
memberhentikan pegawai
c.Hak menyatakan
perang dan damai
d.Hak untuk membuat
angkatan bersenjata sendiri
e.Hak untuk membuat
perjanjian dengan raja-raja
Hak-hak itu seakan
melegalkan keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun walau
demikian, tidak berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC.
Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu. VOC juga belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi peraturan). Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia.
Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Disamping itu juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang Cuma 1.050 metrik ton.
Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu. VOC juga belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi peraturan). Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia.
Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Disamping itu juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang Cuma 1.050 metrik ton.
Namun, berlawanan
dengan kebijakan merkantilisme Perancis yang melarang ekspor logam mulia,
Belanda justru mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar dengan hasil
bumi. Karena selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat ditawarkan
sebagai komoditi imbangan,ekspor perak itu tetap perlu dilakukan. Perak tetap
digunakan dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran
sampai tahun 1870-an.
Cultuurstelstel
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Cultuurstelstel melibatkan para bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan politik Mataram–yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan tidak mendapat imbalan–dan memotivasi para pejabat Belanda dengan cultuurprocenten (imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang masuk gudang).
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Cultuurstelstel melibatkan para bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan politik Mataram–yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan tidak mendapat imbalan–dan memotivasi para pejabat Belanda dengan cultuurprocenten (imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang masuk gudang).
Bagi masyarakat
pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah mereka,
apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi positifnya
adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang
pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di
pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda,
ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang
mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat
pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk
yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
Jelasnya, dengan menerapkan cultuurstelstel, pemerintah Belanda membuktikan teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian lama kian besar. Biaya yang kian besar itu meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa nilai leih ini meningkatkan kesejahteraan Belanda sebagai kapitalis.
Jelasnya, dengan menerapkan cultuurstelstel, pemerintah Belanda membuktikan teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian lama kian besar. Biaya yang kian besar itu meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa nilai leih ini meningkatkan kesejahteraan Belanda sebagai kapitalis.
Kehidupan Ekonomi
Indonesia Pada masa Tanam Paksa.
Pada tahun 1830 pada
saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar
(Perang Diponegoro 1825-1830), dan Perang Paderi di Sumatera Barat (1821-1837),
Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam
Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan
yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan yang besar.
Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC
karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan
pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada
VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya pada harga
yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada perkembangan yang bebas dari
sistem pasar.
3.
Pendudukan Inggris (1811-1816)
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang
telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent
(pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles
mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan
menggunakan pajak tanah, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli
barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern
yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan
alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah. Akan
tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan,
dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang hanya seumur
jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara lain:
- Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang
- Pegawai pengukur tanah dari inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
- Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena inggris tak mampu mengakui suksesi jabatan secara turun temurun.
3. Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pemerintah
militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi
mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya,
terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat.
Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan,
karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak
jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor
macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan
impor. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang
diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.
4. Pendudukan Portugis
4. Pendudukan Portugis
Bangsa Eropa sedang
memajukan teknologi di awal abad ke-16; keahlian baru bangsa Portugis dalam navigasi,
pembuatan kapal, dan persenjataan memungkinkan mereka berani mengadakan ekspedisi
penjelajahan dan ekspansi. Bermula dengan ekspedisi penjelajahan pertama yang
dikirim dari Malaka yang baru ditaklukkan pada tahun 1512, bangsa Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang tiba di
Nusantara, dan mencoba mendominasi sumber-sumber rempah-rempah berharga dan
berusaha menyebarkan Katolik Roma. Percobaan awal bangsa Portugis
mendirikan koalisi dan perjanjian damai pada tahun 1512 dengan Kerajaan
Sunda di Parahyangan, gagal akibat sikap permusuhan yang
ditunjukkan oleh sejumlah pemerintahan Islam di Jawa, seperti Demak
dan Banten. Bangsa Portugis mengalihkan arah ke Kepulauan
Maluku, yang terdiri atas berbagai kumpulan negara
yang awalnya berperang satu sama lain namun memelihara perdagangan antarpulau
dan internasional. Melalui penaklukan militer dan persekutuan dengan penguasa
setempat, mereka mendirikan pos, benteng, dan misi perdagangan di Indonesia
Timur, termasuk Pulau Ternate, Ambon, dan Solor. Namun, puncak
kegiatan misi Portugis dimulai pada paruh terakhir abad ke-16, setelah langkah
penaklukan militernya di kepulauan tersebut gagal dan kepentingan Asia Timur
mereka berpindah ke Jepang, Makau, dan Tiongkok; serta pada gilirannya gula di Brasil
dan perdagangan budak Atlantik mengalihkan
perhatian mereka dari Nusantara. Di samping itu, bangsa Eropa pertama yang tiba
di Sulawesi
Utara adalah Portugis.Keberadaan Portugis berkurang hanya di Solor, Flores dan Timor di Nusa Tenggara Timur sekarang, menyusul
kekalahan pada tahun 1575
di tangan penduduk Ternate, penaklukan Belanda di Ambon, Maluku Utara, dan Banda, serta kegagalan umum untuk menopang kendali perdagangan di kawasan
ini. Dibandingkan dengan ambisi awalnya mendominasi perdagangan Asia, pengaruh
mereka pada budaya Indonesiaamat kecil: gitar balada keroncong;
sejumlah kata dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Portugis yang pernah menjadi lingua franca
di samping Melayu; dan banyak nama keluarga di Indonesia
Timur seperti Da Silva, Da Lopez, Da Cunha, Henriquez, Carvallo, Da Costa,
Diaz, de Fretes, Gonsalves, dll. Dampak terpenting kedatangan bangsa Portugis
adalah gangguan dan kekacauan jaringan perdagangan yang sebagian besar terjadi
akibat penaklukan Malaka, dan penyebaran Kristen awal di Indonesia. Hingga
kini, penduduk Kristen banyak ditemui di Indonesia Timur. Di Dusun Baluk Kec.
Bola, Kab. Sikka, St. Fransiskus Xaverius, misionaris Katholik yang mengikuti
perjalanan orang Portugal, menancapkan sebuah Salib setinggi 3 meter di atas
sebuah Batu Karang, yang oleh orang setempat diberi nama "Watu Krus" hal
ini terjadi ± pada tahun 1630.
3.
Era Orde Lama
SOEKARNO
(1945-1967)
Kondisi perekonomian
Indonesia di masa Kepemimpinan Soekarno mengalami tiga tahap yang dimulai dari
penataan ekonomi pasca kemerdekaan, penguatan ekonomi dengan cara
menasionalisasi perusahaan swasta atau asing, hingga munculnya krisis akibat
sistem ekonomi yang terpusat dan biaya politik yang cukup besar.
Karena merupakan
Negara yang baru terbebas dari penjajahan kolonial, perekonomian Indonesia bisa
disebut sebagai ekonomi warisan perang dimana dijalankan berdasarkan perintah
penguasa, sarana dan prasarana yang rusak, kelangkaan barang keperluan
masyarakat, penambahan uang beredar yang tidak terkendali, kesejahteraan
masyarakat terabaikan, transaksi sukarela terbatas, serta terisolasi dari dunia
luar.
Pada hasil konferensi
meja bundar (KMB) tahun 1949, disepakati antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda
salah satunya adalah kebijakan ekonomi yang harus berdasarkan ijin Belanda,
Kembali beroperasinya perusahaan-perusahaan Belanda, menanggung hutang dalam
dan luar negeri Hindia Belanda sebesar 1,13 miliar Dolar AS, serta menanggung
17 ribu esk karyawan Belanda dan 26 ribu tentara kerajaan Hindia Belanda
Koninklijk Nederlands-Indihsce Leger (KNIL).
Ketidakstabilan
kondisi di era parlementer mendorong diterapkannya ekonomi terpimpin. Meski menunjukkan
prestasi ekonomi diawal-awal pemerintahan, namun ternyata akibat sistem yang
kurang baik akhirnya memicu terjadinya krisis.
Ditengah situasi
politik dan ekonomi yang tidak stabil juga mengakibatkan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara mengalami defisit. Biaya politik yang terlalu besar memperngaruhi
defisit APBN serta kondisi fiskal ekonomi yang lepas kendali.
Biaya politik dimasa (1958-1965) dari tahun ke tahun cenderung meningkat hingga mencapai angka tertinggi pengeluaran politik terhadap APBN sebesar 39 persen. Sedangkan Penerimaan dan Pengeluaran Riil APBN justru cenderung menurun yang mencapai titik terendahnya di tahun 1965 senilai 1,6 untuk penerimaan dan 4,1 untuk pengeluaran. Dengan kondisi tersebut defisit APBN sangat besar hingga mencapai -1565,6 miliar rupiah pada tahun 1965.
Biaya politik dimasa (1958-1965) dari tahun ke tahun cenderung meningkat hingga mencapai angka tertinggi pengeluaran politik terhadap APBN sebesar 39 persen. Sedangkan Penerimaan dan Pengeluaran Riil APBN justru cenderung menurun yang mencapai titik terendahnya di tahun 1965 senilai 1,6 untuk penerimaan dan 4,1 untuk pengeluaran. Dengan kondisi tersebut defisit APBN sangat besar hingga mencapai -1565,6 miliar rupiah pada tahun 1965.
4.
Era Orde Baru
SOEHARTO
(1967-1998)
Masa kekuasaan Soeharto adalah yang
terpanjang dibandingkan presiden lain Indonesia hingga saat ini. Presiden
Soeharto melakukan banyak pembangunan khususnya dalam bidang ekonomi. Pasang
surut perekonomian Indonesia juga paling dirasakan pada eranya. Pada 1967, ia
mengeluarkan Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal
Asing. UU ini membuka lebar pintu bagi investor asing untuk menanam modal di
Indonesia.
Orde Baru menetapkan
tujuan pembangunan nasional yakni untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila. Pembangunan
nasional sendiri pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
dan pembangunan seluruh bangsa Indonesia berlandasakan Pancasila dan UUD 1945.
Pembangunan nasional
dilaksanakan secara bertahap, setiap tahap berlangsung selama lima tahun yang
disebut Pelita. Setiap Pelita memiliki titik berat dibidang-bidang
tertentu. Rincian prioritas dan sasaran yang hendak dicapai dalam Pelita adalah
sebagai berikut:
Pelita I
Pelita I dilaksanakan
mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi landasan awal pembangunan
masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya
adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan
lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik berat Pelita I adalah
pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar
keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena
mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Pelita II
Pelita II mulai
berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama Pelita
II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana,
mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Titik berat dari
pelaksanaan Pelita II adalah pada sector pertanian dan industry yakni mengolah
bahan baku menjadi bahan jadi. Pelita II berhasil
meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam
hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak
jalan dan jembatan yang direhabilitasi dan dibangun.
Pelita III
Pelita III
dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984. Pelita III
menitikberatkan pada sector pertanian menuju swasembada pengan dan meningkatkan
industry yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Pelita III lebih
menekankan pada Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan titik berat
pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.
Isi Trilogi
Pembangunan terdiri dari:
- Stabilitas nasional yang dinamis
- Pertumbuhan ekonomi tinggi, dan
- Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
Isi Delapan Jalur
Pemerataan meliputi:
- Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan.
- Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
- Pemerataan pembagian pendapatan.
- Pemerataan kesempatan kerja
- Pemerataan kesempatan berusaha
- Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
- Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
- Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Pelita IV
Pelita IV
dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV
ini adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan
industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara lain swasembada
pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton.
Hasilnya Indonesia berhasil swasembada beras. Kesuksesan ini mendapatkan
penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan
dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi
Indonesia. Selain swasembada pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan Rumah untuk keluarga.
Pelita V
Pelita V dimulai 1
April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan ditekankan pada
sector pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi
pertanian lainnya dan meningkatkan produksi khususnya yang menghasilkan untuk
ekspor, banyak menyerap tenaga kerja, dan industry yang bisa menghasilkan
mesin-mesin sendiri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia berada pada posisi
yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun. Posisi
perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan.
Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
Pelita VI
Pelita VI dimulai 1
April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI ini
ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian,
serta peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor
ekonomi dipandang sebagai penggerak pembangunan. Namun pada periode ini terjadi
krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu
perekonomian telah menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga
menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.
Ekonom Lana Soelistianingsih menyebut, iklim ekonomi
Indonesia pada saat itu lebih terarah, dengan sasaran memajukan pertanian dan
industri. Hal ini membuat ekonomi Indonesia tumbuh drastis. Setelah itu, di
tahun-tahun berikutnya, hingga sekitar tahun 1997, pertumbuhan ekonomi
Indonesia cenderung tinggi dan terjaga di kisaran 6-7 persen. Namun, selama
Soeharto memerintah, kegiatan ekonomi terpusat pada pemerintahan dan dikuasai
kroni-kroni presiden. Kondisinya keropos. Pelaku ekonomi tak menyebar seperti
saat ini, dengan 70 persen perekonomian dikuasai pemerintah. Begitu dunia mengalami
gejolak pada 1998, struktur ekonomi Indonesia yang keropos itu tak bisa
menopang perekonomian nasional.
Posisi Bank Indonesia (BI) pada era Soeharto juga tak
independen. BI hanya alat penutup defisit pemerintah. Begitu BI tak bisa
membendung gejolak moneter, maka terjadi krisis dan inflasi tinggi hingga 80
persen.
Pada 1998, negara bilateral pun menarik diri untuk
membantu ekonomi Indonesia, yaitu saat krisis sudah tak terhindarkan.
Pertumbuhan ekonomi pun merosot menjadi minus 13,13 persen. Pada tahun itu,
Indonesia menandatangani kesepakatan dengan Badan Moneter Internasional (IMF).
Gelontoran utang dari lembaga ini mensyaratkan sejumlah perubahan kebijakan
ekonomi di segala lini.
5.
Era Reformasi
BJ
HABIBIE (1998-1999)
Periode
Pemerintahan Presiden Baharuddin Jusuf Habibie
dikenal sebagai masa tranisi dari krisis ekonomi ke proses pemulihan. Pada masa
ini pemerintah menerapakan reformasi kebijakan ekonomi di sejumlah sektor guna
memulihkan kepercayaan publik yang merosot akibat krisis.
Untuk mengatasi krisis ekonomi, pemerintahan BJ Habibie
mengambil beberapa kebijakan penting. Di bidang moneter, dimulai dengan
mengendalikan jumlah uang beredar, menaikkan suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia menjadi 70%, serta menerapkan bank sentral independen. Di bidang
Perbankan, dengan menerbitkan obligasi Rp. 650 triliun untuk menalangi
perbankan, menutup 38 bank dan mengambilalih 7 bank. Di bidang Fiskal dimulai
dari membatalkan sejumlah proyek infrastruktur, menghentikan perlakuan khusus
bagi mobil nasional dan membiayai program Jaring Pengaman Sosial. Di bidang
Korporasi dimulai dengan merestrukturisasi utang swasta lewat skema Indonesia
Debt Restructuring Agency (INDRA) dan Prakarsa Jakarta serta melarang praktik monopoli bagi Bulog
dan Pertamina
Terbukti, gerakan cepat pemerintah saat itu membawa
hasil. Satu tahun kemudian, reformasi ekonomi yang diterapkan saat itu memiliki
beberapa dampak antara lain jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS dari
sebelumnya Rp 16.650 per dollar AS pada Juni 1998 menjadi Rp 7.000 per dollar
AS pada November 1998. Namun di sisi lain pertumbuhan ekonomi tampak
menunjukkan perbaikan dari yang sebelumnya -13% menjadi 2%, angka inflasi pun
sukses diturunkan dari 77,6% menjadi 2%.
ABDURRAHMAN
WAHID (1999-2001)
Di masa pemerintahan
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), perekonomian Indonesia kembali menghadapi
tantangan berat. Kebijakan-kebijakan ekonomi Gus Dur yang mengundang kerutan di
dahi para pakar, juga perseteruannya dengan DPR dan IMF mempengaruhi iklim
perekonomian Indonesia saat itu.
Sejumlah kebijakan
seperti upaya mengubah independensi BI lewat amandemen UU BI, bea masuk impor
mobil mewah untuk KTT G-15 yang jauh lebih rendah dari yang seharusnya (hanya
5% sementara seharusnya 75%), dan otonomi daerah yang membebaskan daerah untuk
mengajukan pinjaman luar negeri tidak populer di masyarakat dan menuai protes.
Kondisi perekonomian
yang tampak memburuk setelah sebelumnya menunjukkan gejala-gejala kepulihan di
masa pemerintahan BJ Habibie meresahkan publik dan para investor. Nilai tukar
Rupiah terhadap Dollar AS yang semula Rp. 7.500 (1999) menjadi Rp. 9.800
(2001), Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun dari 580 menjadi
458, begitu pun tingkat pertumbuhan ekonomi yang semula 5% (2000) menjadi 3,6%
(2001). Sebaliknya, tingkat inflasi pun meningkat drastis, dari 2% (1999)
menjadi 12,6% (2001).
Di luar itu,
pemerintahan Gus Dur bukannya tanpa capaian. Melalui desentralisasi fiskal,
pemerintah berama-sama dengan Bank Dunia brupaya menurunkan tingkat kemiskinan
melalui program pengembangan kecamatan. Selain itu, juga ada proyek pedesaan,
mulai dari pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan dan saluran
irigasi dan sanitasi, juga memberikan bantuan Kredit Usaha Mikro.
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI (2001-2004)
Salah satu kebijakan ekonomi Megawati yang dinilai berani
adalah mengakhiri program reformasi kerjasama dengan IMF pada Desember 2003
yang lalu dilanjutkan dengan privatisasi perusahaan negara dan divestasi bank
guna menutup defisit anggaran negara.
"Semua opsi yang ditawarkan IMF sifatnya 'mencekik
leher' bagi Indonesia. Sifatnya menggantung Indonesia supaya terus bergantung
pada IMF," ujar Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Ketua
Bappenas saat itu, Kwik Kian Gie.
Setelah mengakhiri kerjasama dengan IMF, Megawati
menerbitkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi
Sesudah Berakhirnya Program IMF untuk menjaga stabilitas ekonomi makro.
Ada beberapa poin penting dalam kebijakan tersebut. Di
sektor fiskal misalnya, ditandai dengan reformasi kebijakan perpajakan,
efisiensi belanja negara dan privatisasi BUMN. Di sektor keuangan, dilakukan
perancangan Jaring Pengaman Sektor Keuangan, divestasi bank-bank di BPPN,
memperkuat struktur governance bank negara, dan restrukturisasi sektor pasar
modal, asuransi dan dana pensiun. Lalu di sektor investasi, dilakukan
peninjauan Daftar Negatif Investasi, menyederhanakan perizinan, restrukturisasi
sektor telekomunikasi dan energi serta pemberantasan korupsi.
Dampaknya dinilai cukup baik. Kurs Rupiah yang semula Rp.
9.800 (2001) menjadi Rp. 9.100 (2004), tingkat inflasi menurun dari 13,1%
menjadi 6,5% sedangkan pertumbuhan ekonomi naik 2%, begitu pun poin IHSG dari
459 (2001) menajdi 852 (2004).
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (2004-2014)
Kenaikan harga
komoditas di awal masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuat
Indonesia berada di atas angin, walau hanya sementara sebelum ditempa krisis
global di 2008. Harga minyak, batu bara dan CPO (minyak sawit mentah) dunia
mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Minyak yang semula
USD 29,32/barel di 2004 dihargai USD 142,03/barel di 2008, begitu juga batu
bara, yang tadinya USD 56,68/metrik ton di 2004 menjadi USD 192,86/metrik ton
di 2008. Lalu CPO yang semula RM 1411 di 2006 naik menjadi RM 4298 di 2008.
Kenaikan harga ini
membawa angin sejuk bagi Indonesia. Proses pemulihan ekonomi sebagai dampak
krisis 2008 lebih cepat, pendapatan dari pajak juga meningkat, sedangkan
defisit APBN justru menurun. Bahkan transaksi sempat mengalami surplus sebesar
dua persen di 2009.
Dampak
kenaikan harga di sektor Minyak Bumi yaitu BBM meningkat, 19% APBN untuk
subsidi BBM 2005, Impor BBM melonjak memberatkan neraca pembayaran, US$5 M,
deficit transaksi berjalan 2005, serta 2 kali harga BBM naik. Ada pula dampakkenaikan
harga di bidang Komoditas Lainnya yaitu mempercepat recovery ekonomi saat
krisis 2008, pajak meningkat, defisit APBN menurun, serta transaksi berjalan
surplus 2% pada 2009.
JOKO
WIDODO (2014-saat ini)
Pada masa pemerintahannya, Joko Widodo
atau yang lebih akrab disapa Jokowi merombak struktur APBN dengan lebih
mendorong investasi, pembangunan infrastruktur, dan melakukan efisiensi agar
Indonesia lebih berdaya saing.
Dengan agenda utama
reformasi ekonomi, konektivitas antar wilayah dan produktivitas, pemerintahan
Jokowi dengan semboyannya “Kerja Kerja Kerja!” segera mengambil langkah-langkah
strategis untuk mencapai targetnya.
Berbeda dengan
pendahulunya yang memperbesar alokasi subsidi, Jokowi memilih untuk mengeluarkan
kebijakan yang tidak populer di mata publik: Mengurangi subsidi energi dan
mengalihkannya ke sektor-sektor produktif dan jaring pengaman sosial.
"Saya memahami,
kebijakan Pemerintah seakan-akan tidak berpihak kepada rakyat. Namun moral
politik saya mengatakan saya harus bertindak dan menghentikan praktik-praktik
yang tidak benar," kata Jokowi..
“Uang sebesar itu
dapat digunakan untuk membangun sekolah, membangun rumah sakit, meningkatkan
kesejahteraaan rakyat melalui program ekonomi produktif dan perlindungan
sosial, serta membangun lebih banyak lagi infrastruktur," tegas Jokowi.
Sesuai perkataannya,
saat ini dana subsidi energi sebesar Rp. 120 triliun digunakan pemerintahan
Jokowi untuk membiayai proyek infrastruktur, dana alokasi khusus, subsidi
pertanian, Kartu Keluarga Sejahtera dan Keluarga Harapan, pembangunan
pelabuhand an kapal, Dana Desa, Kartu Indonesia Pintar, armada perbatasan dan
Kartu Indonesia Sehat.
Sumber referensi :
http://indonesiabaik.id/infografis/masa-kepemimpinan-soekarno
http://indonesiabaik.id/infografis/reformasi-ekonomi-atasi-krisis
http://indonesiabaik.id/infografis/masa-pemerintahan-sby-naik-turun-ekonomi-indonesia
https://ekonomi.kompas.com/jeo/jejak-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-dari-masa-ke-masa
https://www.google.com/amp/s/blog.ruangguru.com/kehidupan-ekonomi-bangsa-indonesia-di-masa-demokrasi-liberal%3fhs_amp=true?espv=1
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kolonialisme_Portugis_di_Indonesia
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Pembangunan_I
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Pembangunan_II
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Pembangunan_III
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Pembangunan_IV
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Pembangunan_V
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Pembangunan_VI
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
ReplyDeleteNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut